Sebagai seorang dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB), saya sering terlibat dalam diskusi tentang masalah lingkungan dan pertanian. Salah satu isu yang selalu menarik perhatian adalah alih fungsi lahan. Diskusi terkini yang saya ikuti membahas tentang kewajiban mencetak sawah baru sebagai ganti lahan pertanian yang telah diubah fungsinya.
Alih fungsi lahan adalah praktik yang sering diperlakukan sebagai solusi singkat untuk pengembangan kota dan infrastruktur. Meskipun kadang-kadang diperlukan untuk kepentingan umum seperti jalan, bandara, dan pelabuhan, alif fungsi lahan yang tidak terkontrol dapat berdampak negatif pada pertanian dan lingkungan.
Saat lahan pertanian diubah menjadi pemukiman atau industri, ini berarti lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanian hilang. Ini bisa mengganggu rantai pasokan pangan, mengurangi produksi lokal, dan berkontribusi pada hilangnya hutan dan kerusakan ekosistem.
Untuk memitigasi dampak alih fungsi lahan, pemerintah telah menerapkan aturan yang mengharuskan pencetakan sawah baru sebagai kompensasi. Dalam beberapa kasus, ini berarti mencetak sawah baru yang luasnya minimal tiga kali dari luas lahan yang diubah fungsinya. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan jumlah lahan pertanian yang setidaknya sebanding dengan yang hilang akibat alih fungsi lahan.
Mencetak sawah baru adalah proses yang tidak hanya melibatkan pembuatan lahan pertanian baru, tetapi juga pemulihan ekosistem yang sesuai dan perawatan yang baik. Ini termasuk penanaman tanaman, perawatan tanah, dan pemantauan terus-menerus untuk memastikan bahwa sawah baru ini berfungsi secara efisien.